JURNAL REFLEKSI DWI MINGGUAN 4 CGP 7
Peristiwa (Facts)
Modul 1.4 berisi materi tentang Budaya
Positif. Kegiatan belajar modul 1.4 dilakukan secara daring melalui LMS Guru
Penggerak dan diawali dari alur “Mulai dari Diri” pada tanggal 6 Desember 2022.
Kegiatan pada alur ini adalah refleksi mandiri terkait penciptaan budaya
positif di sekolah. Secara garis besar
CGP diharapkan bisa menghubungkan pengetahuan tentang konsep pendidikan Ki
Hajar Dewantara dengan konsep lingkungan dan budaya positif di sekolah,
sekaligus mengamati sistem rancangan di sekolah masing-masing agar dapat
menciptakan lingkungan positif serta mendukung murid menjadi pribadi yang
bahagia, mandiri, dan bertanggung jawab, sesuai dengan filosofi Ki Hadjar
Dewantara. Selanjutnya pada tanggal 7 s.d. 9 Desember 2022 CGP melakukan
eksplorasi konsep materi secara mandiri dan berdiskusi dengan memberikan
tanggapan pada catatan CGP yang lain. Ada 6 materi yang dipelajari, antara lain
:
1. Disiplin Positif dan Nilai-nilai Kebajikan
Universal.
2. Teori Motivasi, Hukuman dan Penghargaan,
Restitusi.
3. Keyakinan Kelas.
4. Kebutuhan Dasar Manusia dan Dunia Berkualitas.
5. Restitusi - Lima Posisi Kontrol.
6. Restitusi - Segitiga Restitusi.
Setelah CGP mempelajari
keenam materi tersebut kegiatan selanjutnya memasuki alur Ruang Kolaborasi.
Pada alur ini CGP melakukan diskusi kelompok secara virtual pada tanggal 8
Desember. Setiap kelompok diminta menganalisis kasus-kasus yang disediakan
berdasarkan konsep-konsep inti dalam modul Budaya Positif , dan kemudian
masing-masing kelompok mempresentasikan hasil analisis studi kasus kelompoknya
pada tanggal 9 Desember 2022. Sebenarnya
pada saat jurnal ini dibuat masih ada beberapa alur belajar lanjutan yang belum
dilaksanakan, dan masih ada beberapa tugas
yang sedang dalam proses penyelesaian. Namun secara umum konten materi sudah dipahami
oleh CGP. Menciptakan budaya positif bisa dilakukan dengan membangun budaya
kontrol mandiri dari murid. Jika ada murid yang melakukan kesalahan maka pada dasarnya murid tersebut sedang melakukan
sebuah proses pembelajaran. Guru diharapkan memposisikan diri sebagai manajer
yang membimbing murid untuk menyadari kesalahannya dengan konsep restitusi.
Dengan konsep ini murid diharapkan dapat
mengontrol setiap perilakunya secara mandiri atas dasar nilai-nilai kebajikan
universal yang diyakini, bukan dalam rangka menghindari hukuman atau agar
mendapat penghargaan dari lingkungan. Jika murid bisa mengontrol dirinya
sendiri secara merdeka dan mandiri, maka ia tidak membutuhkan orang lain untuk
mengontrol dirinya.
Perasaan (Feelings)
Mempelajari modul 1.4 ini
membutuhkan energi dan waktu yang relatif banyak. Pada alur Mulai dari diri ada
9 halaman yang harus dibaca dan diberikan catatan, sedangkan pada eksplorasi
konsep ada total 64 bacaan yang harus dibaca dan diberikan catatan. Untuk
memulai membaca saya harus menunggu
waktu yang longgar, di sela-sela aktifitas rutin kedinasan dan kegiatan
lain kemasyarakatan. Namun setiap kali melakukan kegiatan membaca materi, saya
selalu terasa sulit untuk mengakhiri, karena isi bacaan sangat menarik dan
bermanfaat untuk tambahan pengetahuan saya dalam melaksanakan tugas amanah
sebagai seorang guru.
Setelah mempelajari isi
modul saya merasa bahwa tindakan saya selama ini kurang maksimal di dalam memberikan
penyadaran kultural kepada murid-murid saya. Selama ini saya berada pada miskonsepsi
tentang makna ‘kontrol’ sebagaimana disampaikan oleh Dr. William Glasser dalam Control Theory sebagai berikut :
1. Saya merasa bahwa guru bisa mengontrol murid.
2. Saya menganggap semua penguatan positif atau
bujukan efektif dan bermanfaat.
3. Saya meyakini bahwa kritik dan membuat orang
merasa bersalah dapat menguatkan
karakter.
4. Saya merasa bahwa guru sebagai orang dewasa memiliki
hak untuk memaksa murid.
Dengan
pemahaman yang kurang tepat itu saya merasa belum menjalankan peran guru
sebagai seorang manajer yang membimbing murid untuk memiliki daya kontrol
mandiri terhadap perilakunya. Dalam membangun budaya disiplin saya masih sering
menghukum siswa-siswa yang melanggar peraturan. Saya hampir tidak pernah
menghubungkan pelanggaran itu dengan 5 kebutuhan dasar manusia sehingga saya
kurang memahami alasan perbuatan itu dilakukan sebagai acuan untuk memberikan
solusi yang relevan. Saya hanya memandang perilaku buruk sebagai sebuah
kesalahan, dan mencoba mengubah pandangan murid yang berbuat salah agar
berpandangan sama dengan saya. Selama ini saya merasa telah melaksanakan
sesuatu yang benar, padahal tindakan tersebut bisa menyebabkan ketidakmandirian
murid-murid saya dalam membuat keputusan perilakunya. Anak-anak memang bisa
secara sesaat berdisiplin, mematuhi
peraturan, dan berperilaku baik namun harus selalu ada stimulus respon untuk mendisiplinkan mereka. Itu artinya mereka
selalu membutuhkan orang lain untuk mengontrol diri mereka. Tanpa itu mereka
akan sulit mengontrol diri mereka sendiri secara merdeka. Saya merasa harus
memperbaiki cara menumbuhkan budaya positif murid-murid saya dengan pengetahuan
yang saya dapat dari modul ini.
Pembelajaran (Findings)
Menurut Ki Hajar Dewantara, untuk
menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang
kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri yang berasal dari motivasi
internal. Jika kita tidak memiliki motivasi internal, maka kita memerlukan
pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau motivasi eksternal, karena berasal
dari luar, bukan dari dalam diri kita sendiri. Sebelum mempelajari modul ini
mindset saya dalam mendisiplinkan murid selalu didasarkan pada asas reward and punishment atau paradigma stimulus respons. Murid yang melakukan
kebaikan atau prestasi diberikan hadiah dan apresiasi, sedangkan murid yang
salah atau melanggar peraturan diberikan hukuman atau sanksi. Kedisiplinan yang
ditanamkan pada siswa masih lebih didominasi
oleh upaya menghindari hukuman karena pelanggaran, atau agar mendapat
apresiasi dan menyenangkan hati guru maupun orang tua. Jadi kedisiplinan siswa lebih
banyak dibangun dengan motivasi eksternal. Siswa memiliki ketergantungan untuk
selalu dikontrol oleh pihak luar agar perilakunya selalu baik, bisa disiplin
dan tidak melanggar peraturan.
Setelah mempelajari modul
ini saya memahami pentingnya seseorang memiliki disiplin diri karena motivasi
internal. Seseorang yang memiliki disiplin diri akan bertanggung jawab terhadap
apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada
nilai-nilai kebajikan. Mereka bisa mengontrol diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada
nilai-nilai tersebut agar tercapai tujuan mulia yang diinginkan. Bisa
mengontrol diri berarti tidak dalam kontrol orang lain. Untuk itu diperlukan
kesadaran yang tinggi pada pentingnya disiplin. Siswa harus menyadari alasan mendalam
mengapa dia harus disiplin. Dengan demikian seluruh cipta, rasa, dan karsanya
merasa perlu untuk disiplin. Mengharapkan siswa untuk disiplin secara mandiri, harus diawali dengan
menggugah kesadaran mereka tentang arti penting disiplin dan nilai-nilai
kebijakan universal yang diyakini.
Rencana Penerapan (Future)
Untuk membangun budaya positif
di sekolah diperlukan motivasi intrinsik siswa. Penegakan peraturan sekolah
dilakukan bukan dengan hukuman. Peran guru bukan sebagai penghukum siswa yang
melanggar atau sebagai pemantau yang selalu mengawasi dan mencatat rapi setiap
pelanggaran yang dilakukan siswa untuk selanjunya diberikan sanksi sebagai
konsekuensi perbuatan yang dilakukan. Tindakan seperti itu memang bisa membuat
siswa berdisiplin, namun hanya untuk sementara waktu demi menghindari hukuman. Seseorang
akan lebih tergerak untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar
mengikuti serangkaian peraturan tertulis tanpa paham maknanya. Murid-murid pun
demikian, mereka perlu diberikan pemahaman tentang arti sesungguhnya peraturan-peraturan
yang diberikan, apa nilai-nilai kebajikan dibalik peraturan tersebut, dan apa
tujuan utamanya. Dengan demikian diharapkan murid patuh terhadap peraturan
dalam rangka menjalankan nilai-nilai yang diyakini, bukan karena takut atau sekedar
mengikuti serangkaian peraturan-peraturan yang mengatur mereka tanpa memahami
tujuan mulianya. Untuk itu di sekolah/kelas perlu dibuat kesepakatan tentang
keyakinan sekolah/kelas yang dibuat bersama antara guru dan murid sebagai nilai
kebajikan yang menjadi kontrol siswa dalam berperilaku sehari-hari. Jika ada
siswa yang melanggar peraturan maka guru berperan sebagai manajer melakukan pembimbingan
siswa dengan restitusi. Dengan restitusi siswa dibimbing untuk memperbaiki
kesalahan, menyadari keyakinan yang dilanggar, dan memulihkan dirinya setelah
berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk
menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan (hukuman), namun
tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan. Dengan
demikian siswa memiliki kemandirian dalam mengontrol perilakunya atas dasar
nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai.
Keren dan menginspirasi 🙏
BalasHapus